Air Berdendang di Curug Cikondang

Pesona alam itu nyata adanya, tak hendakkah kita memahami cinta-Nya?

 Akhir pekan Juli itu bertepatan dengan libur Iduladha, keluarga kecil kami bersepakat untuk menghabiskan waktu di kota tempat kami menitipkan hewan kurban tahun itu. Saya, suami, dan tiga anak kami merencanakan kegiatan tiga hari di Cianjur. Kami berlima sengaja datang ke kota ini dengan agenda khusus. Ya, tiga hari yang kami kosongkan untuk menikmati keindahan kota kecil bernama Cianjur.

Pada hari pertama kami habiskan untuk berwisata kuliner dan melihat alun-alun kota serta Masjid Agung Cianjur. Lontong sayur di daerah Sinar adalah menu sarapan yang kami pilih. Untuk makan siang, kami memilih rumah makan yang menyajikan menu khas makanan Sunda di daerah Kaum. Wisata kuliner hari itu ditutup dengan menu sate maranggi, sambal oncom, dan ketan bakar. Warujajar adalah tempat yang kami datangi malam itu. Karena tempat kami menginap tidak jauh dari kota kabupaten, kami tidak kesulitan untuk mencari tempat-tempat makan dengan menu khas Cianjur. Kami pun tidak memerlukan waktu lama keluar dari tempat kami menginap untuk makan dan kembali lagi setelah selesai.

Pada hari kedua, kami putuskan untuk melakukan perjalanan sedikit lebih jauh dari kota kabupaten. Ada dua pilihan destinasi yang akan kami kunjungi yaitu Situs Gunung Padang atau Curug Cikondang. Kedua tempat itu berada di selatan kota kabupaten dengan jarak yang memerlukan waktu lebih dari satu jam perjalanan, hanya untuk menuju satu destinasi. Karena alasan itu, kami harus memilih salah satu saja mengingat keterbatasan waktu yang dimiliki sehingga tidak memungkinkan bagi kami untuk mengeksplorasi kedua tempat tersebut dalam waktu satu hari.

“Jadi kita pilih mana nih? Gunung Padang atau Curug Cikondang?”

Pertanyaan ini saya tujukan pada anak-anak. Sebelumnya, mereka telah googling dua tempat itu. Si Bungsu memilih Curug Cikondang, Si Tengah ingin pergi ke dua tempat itu, dan Si Sulung menyerahkan pilihan pada suara terbanyak. Setelah berembuk berlima, akhirnya kami bersepakat untuk pergi ke Curug Cikondang.

“Nanti di sana aku boleh main air basah-basahan ya, Bund,” pinta Si Bungsu.

I’m so excited,” seru Si Tengah.

Dua anak ini memang sangat menyukai aktivitas luar dan segala sesuatu yang berhubungan dengan alam. Hiking dan berkemah di alam terbuka bukan hal baru bagi mereka.

Persiapan kami hanya air minum dan camilan secukupnya. Semua sudah disimpan di dalam mobil sejak malam sebelumnya. Selain air minum dan camilan, tak lupa kami siapkan baju ganti karena sebelum berangkat ke Curug Cikondang, kami akan salat Iduladha terlebih dulu.

Perjalanan Pagi, Pukul 06.00 Mengawali Hari

Keesokan harinya sebelum azan subuh, kami sudah siap. Kami keluar rumah sekitar pukul enam. Tempat pertama yang kami tuju adalah sebuah masjid yang berada di Islamic Center, Cianjur. Lokasinya di Jalan Dr. Muwardi. Kami salat Iduladha di sana dan selesai sekitar pukul 8.00. Setelah selesai, kami memulai perjalanan ke Curug Cikondang. Sebelumnya, suami dan anak-anak lelaki berganti baju dengan Tshirt supaya nyaman.

“Kita sarapan di mana?” tanya Si Sulung.

“Kita makan bubur ayam yang dekat SMPN 2 aja, biar hemat waktu karena jalannya searah,” jawab saya.

Kami pun sarapan bubur ayam khas Cianjur di kedai Teh Imas, yang berada di Jalan Siliwangi. Bubur ayam khas Cianjur memang pas untuk mengawali hari. Dengan pais bawang (pepes usus dan bawang hijau) yang gurih, bubur ayam Cianjur cukup memuaskan lidah dan perut kami. Untuk lima mangkuk bubur ayam dan tambahan tiga bungkus pais bawang, kami hanya membayar Rp59.000 saja, sedangkan teh tawar hangat diberikan gratis.

Pemandangan Hijau, 90 Menit Perjalanan

Setelah selesai sarapan bubur ayam, kami pun melanjutkan perjalanan ke Curug Cikondang. Curug Cikondang sendiri berada di Kecamatan Campaka, yaitu daerah di selatan Cianjur. Untuk menuju ke sana, mobil meluncur ke arah Sukabumi meninggalkan kota kabupaten Cianjur. Pagi itu, lalu lintas sepanjang jalan tidak terlalu padat. Ada beberapa mobil dan bis yang kami lihat melewati jalan raya yang merupakan penghubung antara Kota Cianjur dan Kota Sukabumi.

Tepat di daerah pertigaan Warungkondang, mobil kami berbelok ke kiri menuju Kecamatan Campaka. Tidak ada lagi kendaraan besar seperti bis di sepanjang jalan ini. Sepanjang perjalanan, kami melihat rumah-rumah penduduk, pesawahan, dan kebun teh. Segar terasa, udara pagi memasuki mobil yang jendelanya sengaja kami biarkan terbuka. Ya, pada setengah perjalanan itu kami sengaja mematikan AC mobil. Tidak terburu-buru, mobil melaju dengan santai. Kami biarkan angin pagi dan wangi daun-daun tumbuhan sepanjang jalan itu masuk dan membelai raga.

Kami menikmati perjalanan tanpa bunyi klakson, tanpa bau asap kendaraan lain yang berlebihan, dan bahkan tanpa merasa diburu waktu. Sungguh, ini adalah perjalanan termewah yang kami dapat. Sangat jauh berbeda ketika mobil yang sama menembus jalanan kota tempat kami tinggal dan beraktivitas rutin. Semua tampak sibuk, semua terasa terburu-buru.

Sepanjang perjalanan, sesekali kami berpapasan dengan motor, sepeda, bahkan anak-anak yang berlarian di pinggir jalan. Ada juga satu dua mobil yang berpapasan dengan kami, tetapi laju mereka tidak lebih cepat dari mobil yang kami kendarai. Semua tampak santai dan tidak terburu-buru. Kehidupan seperti berjalan dalam slow motion dan kami nikmati setiap detiknya.

Dari kejauhan kami melihat tanda yang menunjukkan arah tujuan kami. Mobil pun mulai melambat. Tepat di samping tulisan “Wana Wisata Curug Cikondang”, kami melihat area kosong yang sepertinya tempat parkir kendaraan. Mobil pun diarahkan ke sana. Biaya parkir untuk mobil cukup Rp10.000 dan untuk motor hanya Rp5.000. Mobil kami adalah yang pertama parkir, disusul satu motor. Mungkin karena masih pagi, pikir saya. Dari tempat parkir, kami berjalan sekitar 20 meter untuk dapat masuk ke area Curug Cikondang. Sebelum masuk, kami harus membayar tiket sebesar Rp5.000 per orang.

Dari tempat kami sarapan bubur ayam tadi sekitar pukul setengah sembilan dan kami sampai di lokasi sekitar pukul sepuluh. Sembilan puluh menit bukan waktu yang singkat untuk perjalanan dengan mobil. Anehnya, kami tidak merasakan itu sebagai waktu yang panjang karena perjalanan ini menyenangkan.

Niagara Mini, Ketinggian 50 Meter

Tempat pembayaran tiket berada tidak jauh dari tempat parkir, sekitar 20 meter jaraknya. Posisi masuk persis di atas curug (sebagian dari area atas air terjun). Dari tempat kami berdiri, terlihat hamparan hijau pesawahan diselingi tumbuh-tumbuhan. Suara gemuruh air terdengar jelas dari atas. Kemudian kami berjalan ke bawah menyusuri jalan setapak. Sepanjang jalan setapak itu, kami melihat pemandangan hijau yang menyejukkan mata. Di sisi kanan, ada beberapa saung yang bisa menjadi tempat beristirahat sejenak bagi yang kelelahan. Bagi yang tidak terbiasa berjalan jauh di jalan tanah dengan turunan yang lumayan panjang, mungkin ini cukup melelahkan. Namun, pemandangan yang disuguhkan alam sepadan dengan keringat yang kita keluarkan. Pesona Curug Cikondang bagaikan suguhan keindahan alam bagi para pencintanya.

Semakin jauh berjalan ke bawah, semakin terdengar jelas nyanyian air terjun itu. Semakin berjalan mendekati curug, semakin terdengar jelas air terjun itu berdendang indah. Pagi itu matahari bersinar cerah. Cipratan air yang jatuh dari ketinggian seakan-akan sapaan alam yang menyambut kedatangan kami. Angin yang berembus di bawah air terjun membawa titik-titik air ke sekeliling area bawah air terjun, bagaikan belaian yang mengusap pipi. Segar terasa.

Dilihat dari bawah, air terjun Curug Cikondang tidak hanya tinggi tetapi juga melebar. Tak henti saya mengagumi pesona alam ini. Curahan air yang terjun bebas ke bawah ini adalah bentuk kasih dan sayang Sang Pencipta bagi para makhluk yang hidup di sekelilingnya. Betapa tidak, tumbuh-tumbuhan hidup subur karena limpahan air yang tak henti turun.

Curug Cikondang mendapat julukan Niagara Mini karena bentuknya menyerupai air terjun raksasa Niagara yang berada di Amerika Utara. Air terjun Curug Cikondang ini berbentuk melebar sepanjang 30 meter, dengan ketinggian air terjun 50 meter (Sumber: Laman Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Jawa Barat). Tidak hanya itu, Curug Cikondang pun memiliki beberapa air terjun kecil di bawahnya. Ini menjadi daya tarik tersendiri dari curug ini.

Menikmati Air Berdendang, 2 Jam Masih Kurang

Ketika kami datang, hanya ada sepasang pengunjung dan kami berlima. Masih pagi, masih sepi. Kami biarkan anak-anak bercengkerama dengan alam. Mereka bermain air, sesekali memotret pemandangan sekeliling curug. Basah dan kotor sedikit tidak masalah, justru ini adalah penanda kemesraan mereka dengan alam. Pembelajaran ini tidak akan mereka dapatkan di ruang-ruang kelas. Kedekatan dengan alam semoga menjadi jalan bagi anak-anak untuk dapat memahami cinta yang ditunjukkan Sang Pencipta.

Kami puas menikmati suguhan air terjun di Curug Cikondang. Datang pada pagi hari adalah pilihan yang tepat karena belum banyak pengunjung yang datang. Dengan demikian, kami bisa bebas mengeksplorasi pesona alam Curug Cikondang.

“Aku pengen kemping di sini. Bisa nggak, Bund? tanya Si Tengah.

“Sepertinya ini bukan tempat untuk berkemah,” jawab saya.

“Seru kalau kita bisa kemping di sini,” lanjut Si Tengah. Anak ini memang bertipe petualang yang sangat suka aktivitas luar.

Menjelang siang, beberapa pengunjung mulai berdatangan. Ada yang berpasangan, ada yang sepertinya keluarga kecil dengan anak-anak. Ada pula dua orang pesepeda gunung yang datang, ini terlihat dari pakaian yang mereka kenakan serta sepeda yang dibawa mereka turun ke bawah curug.

Jam menunjukkan pukul 11.50, matahari sudah tinggi. Meskipun kami masih betah bercengkerama dengan alam di Curug Cikondang, kami memutuskan untuk mengakhiri kunjungan ini. Perjalanan kembali ke kota kabupaten memerlukan waktu sekitar 90 menit, cukup untuk kami bisa makan siang di daerah Kaum dekat Masjid Agung Cianjur, yang sehari sebelumnya kami datangi. Nasi liwet akan menjadi menu makan siang kami hari itu.

Perjalanan berakhir, namun rasa yang tertanam akan tetap ada. Pesona alam yang terpampang jelas di hadapan kami akan terus menjadi pengingat akan kebesaran cinta-Nya.

Cianjur, 9 Juli 2022

 

0 Shares:
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like