Rumah Cimanggis, Keanggunan yang Nyaris Terlupakan

Jika teman-teman mendengar kata “Kota Depok”, apa yang pertama terlintas di kepala? Kota pendidikan karena banyak kampus-kampus terkenal di Depok termasuk Universitas Indonesia? Kota pilihan para urban people untuk tinggal karena udaranya yang sejuk? Atau, kota di selatan Jakarta yang berubah demikian cepat? Satu hal yang pasti, kota Depok adalah kota satelit yang perkembangannya sangat pesat. Di usianya yang baru menginjak 20 tahun tanggal 27 April 2019 lalu, Depok masih tergolong muda. Namun, perkembangan pembangunan yang sangat cepat tak terelakkan lagi, Depok pun menjadi kota yang menjanjikan banyak fasilitas. Pembangunan kota seolah tidak berhenti bergerak.

Tentu saja pembangunan berbagai fasilitas publik ini harus juga diiringi dengan sikap bijaksana berbagai pihak terkait, terlebih dengan keberadaan bangunan tua yang bersejarah. Banyak bangunan yang berusia ratusan tahun di kota ini. Bukan hanya sekadar bangunan tua, tapi bangunan tersebut memiliki sejarah yang tidak bisa kita lupakan begitu saja.

Salah satu bangunan tua yang menarik perhatian pencinta sejarah dan cagar budaya adalah sebuah bangunan peninggalan Belanda abad ke-18. Bangunan tua ini dapat kita temukan di Jalan Raya Bogor. Jalan raya yang menghubungkan kota Jakarta dan Bogor ini sangat panjang, sekitar 45 kilometer. Jalan raya ini melewati 3 kota yaitu Jakarta, Depok, dan Bogor. Di kilometer 34, bangunan bersejarah itu berada. Karena letaknya di wilayah Cimanggis, bangunan ini kemudian dikenal dengan nama Rumah Cimanggis.

Rumah Cimanggis adalah salah satu bangunan bersejarah di kota Depok yang berusia lebih dari 200 tahun. Bangunan yang terletak di daerah Cimanggis ini dibangun pada tahun 1775 dan 1778 oleh seorang arsitek bernama David J. Smith, yang juga kerabat dari pemilik pertama rumah ini.

Dari sisa-sisa keanggunan bangunan ini, kita dapat melihat kekokohan dan kemegahannya. Pilar-pilar tinggi berbaris di muka bangunan. Tidak hanya tinggi, tapi juga berdiameter sangat tebal. Jendela-jendela yang masih terlihat dari bangunan ini, berukuran besar. Demikian pula dengan pintu-pintu di dalam bangunan ini, yang juga berukuran besar. Yang menarik adalah ketebalan dinding bangunan ini, dinding yang tebal mempertegas kekokohan bangunan ini.

Bangunan yang terletak di kompleks RRI Cimanggis ini dulunya adalah rumah persinggahan yang dimiliki seorang Gubernur Jenderal VOC bernama Petrus Albertus van der Parra. Gubernur Jenderal VOC ini berkuasa dan memerintah Batavia dari tahun 1761 sampai dengan tahun 1775.

Pada masa itu, Batavia tengah dilanda wabah malaria. Banyak pejabat Belanda yang memilih tinggal di rumah peristirahatan di luar Batavia, termasuk Petrus Albertus van der Parra. Memiliki rumah peristirahatan di luar Batavia adalah hal yang biasa bagi para pejabat Belanda saat itu. Cimanggis adalah lokasi yang dipilih karena tempatnya masih sejuk dan tidak terlalu jauh dari Batavia.

Pembangunan Rumah Cimanggis untuk Gubernur Jenderal VOC dan istrinya, Andriana Johanna Bake, ini dikerjakan oleh arsitek pilihan Petrus Albertus van der Parra sendiri. Karena ini adalah rumah peristirahatan (land huizen), Petrus Albertus van der Parra dan istri hanya tinggal untuk beristirahat saja, beberapa hari dalam seminggu.

Rumah Cimanggis ini dulunya adalah bangunan megah dan anggun yang bergaya arsitektur khas abad ke-18. Yang menonjol dari gaya arsitektur abad ke-18 ini adalah atapnya yang tinggi dan lebar serta memiliki jendela-jendela yang juga tinggi dan lebar dengan bagian atas jendela yang melengkung. Bangunan tua ini termasuk kokoh mengingat usianya yang sudah ratusan tahun. Dibandingkan dengan bangunan-bangunan sekitarnya yang sudah rusak jauh sebelumnya,

Menurut penuturan Ibu Sujirah, penduduk yang telah menetap selama 35 tahun di lokasi tidak jauh dari cagar budaya ini, bangunan Rumah Cimanggis ini pernah ditinggali 12 keluarga yang merupakan karyawan RRI. Dapat kita bayangkan, betapa luasnya Rumah Cimanggis ini hingga bisa ditinggali 12 keluarga. Namun, sejak ditinggalkan penghuninya di tahun 2016, bangunan ini mulai mengalami kerusakan di beberapa tempat.

Rumah Cimanggis baru mengalami kerusakan parah sekitar tahun 2016 setelah bangunan ini ditinggalkan penghuninya. Rumah Cimanggis ini berada di area milik RRI.

Bangunan tua dengan gaya arsitektur abad ke-18 ini akhirnya “diselamatkan” di saat yang tepat. Pada tanggal 24 September 2018, Pemerintah kota Depok menetapkan bangunan ini sebagai cagar budaya. Bangunan Cagar Budaya yang kemudian dinamakan Gedung Tinggi Rumah Cimanggis ini ditetapkan berdasarkan keputusan Walikota Depok dengan Nomor: 539/289/Kpts/Disporyata/Huk/2018.

Jika melihat secara langsung Rumah Cimanggis ini, bisa kita dapati sisa-sisa keanggunan bangunan abad ke-18.  Melihat tingkat kerusakan yang ada, sepertinya sudah saatnya dilakukan restorasi bangunan cagar budaya Gedung Tinggi Rumah Cimanggis ini. Jika ini terealisasi, pastinya tempat ini akan menarik banyak minat pengunjung.

Banyak hal tentang cagar budaya ini yang tidak diketahui masyarakat umum, termasuk alasan kita harus melestarikannya. Sayang sekali jika keberadaan Rumah Cimanggis diabaikan justru oleh para penduduk yang dekat dengan lokasi cagar budaya ini. Ini bisa saja terjadi bukan karena mereka tidak peduli akan kekayaan bangsa, namun karena mereka belum memahami nilai historis yang dimiliki bangunan ini. Karena alasan inilah, sangat tepat jika masyarakat umum perlu mendapatkan edukasi seputar cagar budaya.

Slogan “Kunjungi, Lindungi, Lestarikan” bisa menjadi langkah awal memberikan pemahaman pada masyarakat umum. Masyarakat yang tadinya tidak tahu tentang cagar budaya, menjadi tertarik untuk lebih memahaminya. Sedangkan bagi masyarakat umum pecinta dan pemerhati sejarah dan cagar budaya, akan menjadi lebih mencintai warisan budaya bangsa.

Pertama adalah mengunjungi cagar budaya. Jika beberapa lokasi cagar budaya lainnya sudah nyaman dan memungkinkan untuk dikunjungi sebagai wisata cagar budaya, lain halnya dengan cagar budaya Rumah Cimanggis. Perlu campur tangan dari pemerintah (baik kota Depok, provinsi Jawa Barat, atau bahkan pemerintah pusat) untuk membuat lokasi cagar budaya Rumah Cimanggis ini nyaman dikunjungi. Lebih baik lagi jika bangunan ini direstorasi besar-besaran dan dijadikan kawasan wisata cagar budaya. Saat ini, hanya para pelari pagi yang kebetulan melewati bangunan ini yang berkunjung untuk berfoto.

Kedua adalah melindungi cagar budaya. Ketetapan Pemerintah Kota Depok yang menjadikan Rumah Cimanggis sebagai cagar budaya sudah menjadi payung hukum dalam melindungi bangunan ini (bangunan cagar budaya dilindungi UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya). Namun, ini saja tentu tidak cukup, masyarakat sekitar lokasi cagar budaya pun perlu ikut serta melindunginya. Langkah sederhana dari melindungi cagar budaya adalah dengan tidak merusak dan/atau mengambil benda atau bagian benda apa pun dari Rumah Cimanggis ini.

Ketiga adalah melestarikan cagar budaya. Jika telah ada kesadaran masyarakat akan perlunya melindungi cagar budaya sebagai warisan budaya bangsa, dapat dipastikan cagar budaya akan lestari. Mengapa hal ini menjadi penting? Pelestarian bangunan cagar budaya Rumah Cimanggis dapat dijadikan tempat para generasi sekarang mengetahui dan memahami sejarah yang ada di balik bangunan cagar budaya ini. Tentu saja akan ada banyak pembelajaran yang bisa diambil dari sejarah. Dari sinilah, kebijaksanaan dalam merencanakan langkah-langkah masa depan bisa ditumbuhkan.

Harapan itu masih ada. Semoga penetapan bangunan Rumah Cimanggis sebagai cagar budaya adalah awal dari tahapan berikutnya. Untuk selanjutnya, sepertinya tidak berlebihan jika kita berharap lokasi cagar budaya Rumah Cimanggis kelak menjadi kawasan yang nyaman untuk dikunjungi, seperti lokasi museum pada umumnya. Dengan demikian, kita bisa mengatakan dengan percaya diri, “ayo kunjungi, lindungi, dan lestarikan.”

Tulisan saya ini ada dalam buku tentang cagar budaya yang berjudul Ragam Pesona Cagar Budaya, yang terbit tahun 2020.
0 Shares:
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like