How Much Is Too Much?

“Dalam kondisi normal, orang sangat mungkin untuk berpikir positif. Namun, kekuatan sebenarnya adalah kemampuan berpikir positif ketika menghadapi masalah dalam kehidupan.” [Dr. Ibrahim Elfiky]

Kalimat ini diambil dari halaman 265, buku dengan judul Terapi Berpikir Positif. Dua kalimat ini terasa sekali maknanya di saat sekarang, setidaknya buat saya. Betapa tidak, 11 bulan terakhir ini rasa dan pikir saya bagaikan diayun-ayun, turun naik di luar kendali. Kondisi yang terjadi memang di luar kuasa dan kendali saya, tetapi perasaan dan penerimaan pada kondisi yang terjadi (seharusnya) ada dalam kendali diri. Yup, it’s easily said than done.

Selama sekian bulan itu, saya mencoba melakukan yang biasa dan bisa saya lakukan sebagai bentuk coping with whatever happens to me. Dari catatan my morning journal terlihat sekali turun-naiknya rasa.

Pertengahan Maret adalah bulan ketika pandemi mulai merebak di sini dan semua penghuni rumah beraktivitas dari rumah (WFH, LFH). Tidak lama untuk dapat keluar dari ketidakmenentuan rasa saat itu, alhamdulillah Ramadan menyelamatkan saya dari rasa dan pikir negatif. Selain menikmati kesyahduan bulan suci, saya pun membentengi diri dari berita-berita negatif seputar pandemi dengan cara tidak membaca berita-berita negatif di luar sana.

Sempat menikmati kenormalan baru ala keluarga kecil saya dan menata rasa dan pikir positif menjadi lebih mudah. Ternyata tidak lama karena info masuk ke lingkaran yang lebih dekat. Ya, saya tidak membaca berita dari luar sana, namun berita itu menghampiri lewat grup sosial di WA. Orang-orang dekat dan saya kenal secara pribadi satu per satu tumbang terkena makhluk kecil bermahkota itu. Ada yang berhasil pulih, ada yang berpulang. Rasa dan pikir kembali goyang, dan godaan hal negatif mendesak isi kepala. Saya ingat, itu terjadi di bulan September. Alhamdulillah, akhirnya itu berhasil saya lewati, berkat my life partner yang bersama-sama saling mendukung untuk selalu sehat fisik, pikir, dan jiwa. Aktivitas-aktivitas positif yang kami lakukan cukup menyedot fokus saya sehingga negativity tidak memiliki ruang dalam diri.

Turun naik, ini saya tuliskan di awal karena demikianlah adanya. Saya tidak pernah menyangka jika bulan Desember sampai pertengahan Januari, saya bisa jatuh sangat dalam ketika kabar datang dari keluarga. Kabar saya dapatkan dari kakak nomor 2, anaknya (keponakan saya), suami anaknya, cucunya (10 bulan), dan ART mereka, positif virus itu. Kaget, sedih, dan tidak percaya karena kami tahu betapa sangat berhati-hati sekali keluarga keponakan saya itu. Mereka termasuk yang taat aturan protokol kesehatan. Hanya karena satu orang (lain) lalai, satu keluarga kena. Selang dua minggu, kabar lain datang dari kakak nomor 5 dan anaknya (keponakan saya yang lain) yang juga “didatangi” makhluk bermahkota ini. Seperti biasa, kami berkoordinasi. Jika bukan pandemi, kami akan mudah saling berkunjung karena semua berdomisili di Jabodetabek. Namun, saat ini koordinasi dan pertemuaan hanya virtual. Hanya satu yang akhirnya harus mobile terutama untuk keperluan kakak nomor 5 dan anaknya ini karena mereka tinggal di apartemen dan “tidak memiliki” tetangga.

Awal Desember sampai pertengahan Januari adalah masa ketika saya jatuh di titik paling bawah selama kurun waktu setahun ini. It’s too much to handle. Bukan hanya rasa dan pikir negatif yang bermain-main di kepala, tetapi sudah memengaruhi fisik. Ya, saya bisa tiba-tiba meriang atau sakit kepala, atau sakit perut tanpa sebab dan ini terjadi di waktu tertentu saja. Tentu saja ini memengaruhi produktivitas kerja. Banyak pekerjaan yang tertunda lebih lama dan saya pun sulit untuk mengerjakan sesuatu kecuali hal-hal mekanis yang tanpa perlu berpikir.

Tidak pernah sedikit pun membayangkan bahwa saya akan berada di titik seperti itu. How much is too much? Ketika untuk berpikir positif saja, itu sulit luar biasa. Alih-alih berpikir positif, saya malah memasrahkan kondisi fisik dikendalikan pikiran negatif. Namun, alhamdulillah, itu tidak berlangsung lama. Saya mencoba bangkit lagi dan mulai menata pikir juga merawat diri. It’s not easy, but it’s something I have to do. Sudah banyak PR menunggu. Life is too precious to be wasted.

After all, it’s a matter of how we see and react to whatever happens to us. (Hera Budiman)

0 Shares:
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like