Anak-Anak Sebagai Deputi Keuangan Keluarga

“Uang hanyalah sebuah ide.” (Robert T Kiyosaki)

Mengelola keuangan keluarga memiliki seni tersendiri bagi saya, karena keberhasilan pengelolaan keuangan keluarga ternyata tidak sepenuhnya bergantung pada banyak-tidaknya pemasukan. Banyak hal-hal unik yang awalnya terlihat sepele, justru menjadi sesuatu yang perlu diperhatikan. Benar adanya kutipan di atas, bahwa uang hanyalah sebuah ide. Kalimat Robert T Kiyosaki yang menjelaskan tentang finance secara umum ini bagi saya justru dipahami secara spesifik, berkenaan dengan peran saya sebagai ibu (orangtua) sekaligus sebagai manager keuangan keluarga.

Keluarga yang merupakan sebuah “organisasi” kecil, tentu saja memerlukan strategi khusus dalam pengelolaan keuangannya. Karena keluarga terdiri dari banyak penghuni, maka keberhasilan pengelolaan keuangan keluarga pun perlu melibatkan semua anggota keluarga. Mengapa demikian? Karena setiap tujuan pengeluaran keuangan keluarga adalah untuk semua anggota keluarga yaitu ayah, bunda, dan anak-anak.

Ada satu hal yang ingin saya bagikan berkenaan dengan pengelolaan keuangan keluarga dengan melibatkan anak-anak. Ide dasarnya dimulai dari keinginan saya dan suami menanamkan pemahaman pada anak tentang peran dan fungsi uang dalam kehidupan kita. Namun, tentu saja ide ini masih sangat abstrak bagi anak-anak. Karena alasan itulah, saya mencoba membuatnya konkret dengan cara memberikan peran dan wewenang pada anak-anak dalam pengelolaan keuangan sesuai dengan usia mereka. Peran yang kami berikan adalah “deputi keuangan” keluarga, dan wewenang mereka adalah mengelola sejumlah uang secara berkala. Sejumlah uang ini kemudian kami beri nama uang saku.

Awal Mula Mengenalkan Uang Saku Pada Anak

             Pada saat masih memiliki satu anak, semua perhatian hanya tertuju padanya, demikian pula dengan pengeluaran-pengeluaran tak terencana, seperti membeli mainan yang diinginkan anak meskipun tidak diperlukan atau jenis mainan yang sama sudah dimiliki sebelumnya, atau membeli makanan yang bukan kebutuhan, dan lain-lain. “Jajan” seperti ini bukanlah masalah pada saat itu, meskipun harus saya akui bahwa nominal pengeluaran untuk “jajan” ini cukup besar. Ketika penghuni rumah bertambah, seiring dengan bertambahnya pengetahuan saya tentang pengelolaan keuangan keluarga, saya mulai menyadari bahwa ada yang harus diperbaiki tentang ini.

Saya mulai memberi uang saku pada Si Sulung ketika dia menginjak usia SMP. Namun, aturan uang saku ini belum saya berikan pada adik-adiknya yang waktu itu masih kelas 1 SD dan PG. Saat itu, pemberian uang saku belum sampai pada tahap memberikan edukasi tentang pengelolaan keuangan, hanya pada membatasi pengeluaran anak dengan memberikan pemahaman tentang perbedaan “keinginan” dan “kebutuhan”.

Ketika Si Bungsu menginjak bangku SD (kelas 1), mulailah konsep uang saku ini dijalankan dengan hal-hal seputar edukasi yang mengiringi aturan ini. Jadi, uang saku di rumah kami bukan hanya sekadar pemberian sejumlah uang secara berkala, tetapi lebih dari itu.

Uang Saku dan Edukasi Pengelolaan Keuangan Pada Anak

             Di rumah, kami memiliki kegiatan rutin mingguan yaitu berkumpul bersama di meja makan. Anak-anak menamai kegiatan ini sebagai “rapat keluarga”. Kegiatan ini awalnya diisi dengan curhatan setiap penghuni rumah. Semua berkesempatan untuk bercerita dan mengemukakan perasaannya, apapun itu, termasuk protes atau keluhan anak-anak tentang ayah dan bunda. Setelah sesi curhat selesai, biasanya ayah, bunda, dan anak-anak saling membagikan rencana kegiatan masing-masing selama seminggu ke depan. Belakangan kegiatan rapat mingguan ditambah dengan sesi pembagian uang saku dan laporan pengeluaran uang saku.

Lalu, bagaimana awal dari konsep uang saku ini? Inilah yang saya lakukan:

Pertama, saya meminta setiap anak untuk mengajukan “proposal” jumlah uang saku yang akan mereka terima setiap minggu. Jangan berpikir jika proposal ini rumit. Sama sekali tidak.

Berikut adalah contoh proposal yang diajukan Si Bungsu (kelas 1 SD):

Senin               : menabung, 5.000

Selasa              : jajan di kantin sekolah, 5.000

Rabu                : –

Kamis              : –

Jumat              : infak, 10.000

Sabtu               : –

Minggu           : –

Jadi,uang saku mingguan Si Bungsu adalah Rp.20.000.

Mengapa jajan di sekolah hanya hari Selasa? Karena di sekolah  anak level rendah (kelas 1 dan kelas 2) hanya diberi izin oleh sekolah (tempat anak-anak saya menimba ilmu) untuk jajan satu hari dalam seminggu, kecuali jika ada kegiatan market day. Selain itu, anak-anak pun terbiasa membawa bekal camilan dari rumah.

Bagaimana dengan “proposal” kakak-kakaknya? Tentu saja berbeda dengan ajuan Si Bungsu. Untuk Si Sulung yang sudah diberi tanggung jawab memegang handphone, ada ajuan untuk pulsa, juga ada ajuan untuk transportasi karena tidak setiap saat saya antar dan jemput sekolah atau kegiatan lainnya. Namun, untuk Si Bungsu dan Si Tengah, kedua hal itu tidak ada karena mereka belum memerlukan pulsa telepon dan juga masih saya antar dan jemput untuk semua kegiatan mereka.

Setiap awal semester sekolah, anak-anak diberi kesempatan untuk mengajukan lagi “proposal” kenaikan uang saku. Ajuan itu bisa saya terima, bisa juga saya tolak. Semua bergantung pada penting atau tidaknya, dan ini pun kami bahas di meja makan saat rapat mingguan. Contohnya pada saat Si Bungsu naik ke kelas 2, dia minta tambahan uang saku karena mau menambahkan jumlah tabungan setiap minggunya, serta mau berinfak lebih. Untuk alasan ini, ajuannya saya kabulkan. Namun, ketika Si Sulung meminta tambahan uang saku untuk pulsa handphone, tidak langsung dikabulkan. Kami diskusikan di meja makan. Ternyata penambahan pulsa tidak urgent (bukan untuk kegiatan yang berkenaan dengan sekolah), jadi saya tolak.

Kedua, penggunaan uang saku mingguan harus dilaporkan di rapat mingguan berikutnya. Di sini, saya mencoba mengajarkan anak-anak untuk belajar matematika sederhana (dengan membuat laporan keuangan sederhana). Edukasi sebenarnya adalah soft skills yang saya coba berikan pada anak-anak dengan mengajarkan mereka untuk bertanggungjawab dan mengelola “keinginan” serta belajar mengenali perbedaan antara keinginan dan kebutuhan.

Dari pendelegasian keuangan ini, saya dapat melihat kelebihan dan karakter anak-anak, sehingga sedikit banyak tahu tipe kecerdasan mereka. Ini mengantarkan saya pada tugas berikutnya (sebagai orangtua), “ke mana anak-anak akan diarahkan dalam pendidikan mereka kelak?”

Manfaat Pemberian Uang Saku Pada Anak

 Memberikan uang saku mingguan pada anak-anak memiliki beberapa manfaat yang saya rasakan. Manfaat ini lebih dari sekadar pengelolaan keuangan. Inilah manfaat yang saya dapatkan setelah saya melibatkan anak-anak dalam pengelolaan keuangan:

  1. Saya dapat mengontrol dan merencanakan pengeluaran (jajan) mingguan anak-anak sehingga terkontrol dan nominalnya pun dapat diatur. Dengan demikian pos pengeluaran dapat terbaca dan diatur setiap bulannya.
  2. Saya terhindar dari kesulitan mencari alasan jika anak-anak meminta jajan di minimarket sepulang sekolah. Dulu, tidak mudah memberi pemahaman pada anak-anak untuk tidak jajan jika memang tidak perlu. Setelah pengelolaan uang saku berjalan, seringkali anak-anaklah yang menolak setiap saya ajak ke minimarket.
  3. Saya mendapat “jalan’ untuk memberikan edukasi soft skills berkenaan dengan disiplin, tanggung jawab, rasa percaya diri, keteraturan, dsb. pada anak-anak.
  4. Saya melihat anak-anak memiliki kebanggaan dan rasa percaya diri yang tinggi ketika dapat mengatur keuangan mereka sendiri. Ini adalah output dari edukasi yang diberikan.

Cara yang saya lakukan ini pada dasarnya merupakan bagian pendidikan karakter yang ingin ditanamkan pada anak-anak. Adapun pembagian uang saku dan pelaporan pengelolaan uang saku, hanyalah alat/cara dalam edukasi di rumah. Pembelajaran untuk menumbuhkan rasa percaya diri, tanggung jawab, dan kebiasaan baik lainnya pasti memerlukan waktu. Namun, anak-anak sudah memulainya dari rumah. Harapan saya, pembelajaran ini dapat menjadi pembiasaan yang berubah menjadi kebiasaan, yang akhirnya menjadi karakter positif dalam diri anak.

Saya yakin jika setiap keluarga itu unik dan memiliki karakter tersendiri. Karena keunikannya itu, masing-masing keluarga memiliki cara dalam mengatur keuangan keluarga. Bagi saya, setiap hal dalam keluarga mengarah pada visi keluarga dan edukasi adalah bagian tak terpisahkan dalam setiap perencanaan dalam keluarga, termasuk perencanaan pengelolaan keuangan. Bagaimana dengan Anda?

Tulisan ini ada dalam buku Cerdas Kelola Keuangan Keluarga yang diterbitkan oleh Dandelion Publisher tahun 2018.
0 Shares:
12 comments
  1. Bagus banget mba kegiatan rutinnya bareng anak. Bisa jadi masukan nih kalo anakku mulai usaha sekolah kelak. Jadi bisa menabung sejak dini dan yang pentingnya bisa mengelola keuangan sendiri. Mana yang hanya keinginan dan mana yang kebutuhan ya mba

  2. Ini menarik. Anak-anak diajari gimana mengelola uang sejak dini. Mereka juga akan mulai memetakan mana kebutuhan dan mana keinginan. Plus mengajari mereka bahwa nggak semua keinginan akan terkabul.

  3. Bagus mbak kegiatannya, izin aku coba aplikasikan ke anak-anak. Pengen banget anak-anak lebih baik dari segi pengelolaan keuangannya sejak dini, biar belajar bertanggung jawab juga ya.

  4. Menarik sekali idenya. Mengajarkan anak untuk mengelola uang saku. Alhamdulillah, saya sudah menerapkan ini juga pada kedua anak yang sekolah di pondok. Mereka belajar mengelola uang saku, agar bisa cukup selama 1 bulan, meskipun belum ada laporan tertulis seperti yang dilakukan anaknya mbak Hera di atas. Tetapi, mereka berusaha untuk bisa mencukupkan uang saku yang kami berikan tiap bulan.
    Nah, yang masih jadi Pr ini yang kecil, yqng masih SD kelas 3. Saya belum bisa menerapkan seperti yang mbak lakukan, mengajari membuat proposal uang saku. Mungkin bisa mulai saya coba juga ini, agar si kecil lebih menghargai uang dan belajar mengelola uang saku dengan baik.

    1. Wah, anak yang mondok malah lebih bagus pengelolaan uang sakunya, Mbak, terlebih uang sakunya bulanan. Dua jempol ke atas untuk anak-anaknya.
      Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan ini.

Leave a Reply to Hera Budiman Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like