Ketika Buku Jurnal Menjadi Cermin

Everything in the universe is within you. Ask all from yourself.”

(Rumi)

Dulu saya sempat berpikir jika kalimat bijak seperti ini hanyalah milik para sufi dan pujangga. Namun untuk memaknai kalimat bijak tersebut, kita tidak harus menjadi seorang sufi atau pujangga dulu, bukan? Yang menarik dari mengenal diri sendiri ini justru terletak pada prosesnya. Setidaknya, inilah yang saya rasakan. Siapa sangka ternyata aktivitas menulis jurnal mengantarkan saya untuk becermin, melihat jauh ke dalam diri. Lalu, apa yang telah saya lakukan dengan buku jurnal yang telah terisi ini sehingga dapat menjadi cermin dalam mengenal diri sendiri?

Kegiatan journaling sebenarnya bukan hal baru bagi saya, meskipun istilah journaling sendiri baru saya ketahui belakangan. Sejak SMP, saya sudah senang menulis dan mengumpulkan quotes dari para penyair dan pujangga yang saya kenal. Setelah kuliah dan kemudian bekerja, buku catatan banyak didominasi dengan jurnal kegiatan dan tugas-tugas (to-do list). Ada juga tulisan-tulisan random di sana. Aktivitas menulis jurnal masih saya lakukan sampai sekarang, meskipun tidak rutin.

Kemudian, awal bulan Oktober 2020 lalu saya menantang diri sendiri untuk konsisten menulis setiap pagi sebelum atau setelah subuh. Tidak ada perencanaan dengan yang akan ditulis, apa pun saya tuliskan. Yang pertama terlintas di kepala atau rasa pertama yang hadir pada pagi itu, saya tuliskan begitu saja.

Setiap kali menulis pada pagi hari, saya mencoba untuk menulis apa adanya, tanpa khawatir dengan kesalahan berbahasa. Saya sebut “mencoba” karena memang demikian adanya. Belakangan saya baru paham alasannya. Selain menulis jurnal pagi, jurnal kegiatan dan tugas-tugas bulanan tetap saya lakukan. To-do list bulanan saya break down menjadi mingguan. Tugas-tugas tersebut saya klasifikasikan menjadi tugas-tugas domestik, tugas-tugas yang berkenaan dengan pendidikan (sekolah) anak-anak, dan tugas-tugas kepenulisan karena selain menjadi editor, saya saya juga mengeola komunitas literasi KMB (Komunitas Menulis Bersama).

Selain buku untuk morning journal dan buku jurnal harian yang berisi catatan tugas-tugas, saya juga memiliki satu buku jurnal lain. Buku ini saya khususkan untuk diisi dengan puisi atau tulisan pendek yang idenya bisa muncul tiba-tiba dan tidak datang setiap hari. Di balik setiap puisi atau tulisan pendek ini sebenarnya tersimpan cerita panjang yang sulit atau bahkan tidak mungkin saya ceritakan, bahkan dalam bentuk tulisan sekalipun.

Selama dua bulan (Oktober dan November 2020), ketiga buku jurnal ini saya isi sesuai peruntukannya, seperti yang telah direncanakan pada awal memiliki buku-buku jurnal tersebut. Mengapa harus tiga buku jurnal? Mengapa tidak dituliskan dan didokumentasikan semua hal di dalam satu buku seperti yang telah saya lakukan sebelumnya? Alasannya hanya satu: I’m trying to find out the problems as well as the solution for my time management from journaling.

Bulan pertama menulis jurnal pagi berjalan dengan baik. Hanya satu hari dalam satu bulan itu saya absen menulis, tetapi digantikan dengan menulis malam di hari yang sama. Demikian pula dengan aktivitas menulis dan mengecek tugas mingguan di buku jurnal yang satu lagi. Pagi menjadi waktu yang saya habiskan untuk kegiatan ini, sebelum tugas-tugas domestik dikerjakan. Setelah berjalan sekian lama, ritme ini menjadi hal menyenangkan.

Akhir November pun tiba. Sengaja saya luangkan waktu untuk evaluasi kegiatan journaling ini. Apa yang telah saya lakukan? Hambatan apa yang dialami? Manfaat apa yang didapat? Dengan tiga pertanyaan itu, saya pikir saya hanya akan menemukan jawaban-jawaban berkenaan dengan aktivitas journaling saja. Di luar dugaan, ketiga pertanyaan dan jawaban tersebut ternyata berhasil menjadi cermin untuk melihat diri. Cermin untuk sesuatu yang tersembunyi (atau disembunyikan?) selama ini. It’s all in me all along, but I missed seeing it.

Pertama adalah buku jurnal pagi. Buku ini berisi tulisan tentang banyak hal, yang dialami dan dirasakan, juga tentang yang dirindukan dan diinginkan. Entah karena suasana dini hari ketika menuliskannya atau karena perasaan bebas untuk menumpahkan isi hati dan pikiran, semua tulisan itu benar-benar menggambarkan diri sendiri. Membaca kembali tulisan di buku jurnal ini bagaikan berdiri di depan cermin dan cermin itu bercerita banyak hal yang tersembunyi. Warna-warna itu terlihat jelas. Sekuat apa pun saya mencoba menyangkalnya, sejernih itu pula cermin bercerita. Amazingly, kebiasaan menulis pada dini hari menarik saya untuk lebih dekat dengan-Nya.

Hal menarik lainnya dalam tulisan di buku jurnal pagi ini adalah cara saya menuliskan kalimat-kalimat. Terbaca sudah jika saya terlalu takut menulis karena mengkhawatirkan kesalahan-kesalahan berbahasa, padahal ini hanya tulisan curhat semata. I have to deal with the imperfect perfection in me. Ini tidak bagus dan tidak sehat. Buku jurnal pagi ini bagaikan cermin yang berkata, “It’s okay to make mistakes.”

Kedua adalah buku jurnal tugas-tugas. Semua tugas dan pekerjaan dituliskan sesuai dengan prioritas. Untuk memudahkan membuat ceklis yang sudah selesai dikerjakan, saya membuatnya menjadi mingguan (weekly to-do list). Setiap selesai satu pekerjaan, saya beri tanda. Jika belum selesai dan harus diteruskan ke minggu berikutnya, ada tanda tertentu juga. Setelah hampir dua bulan berjalan, pola itu menjadi mudah terbaca. Dalam satu minggu, bisa ada banyak tugas yang harus selesai pada pekan itu. Jumlah tugas itu melebihi jumlah waktu yang dimiliki. It doesn’t make sense anymore. Bahkan, jika saya gunakan waktu 24 jam sehari, 7 hari seminggu pun, itu tidak akan cukup. Buku jurnal yang sudah terisi ini ternyata menjadi cermin lain yang menjelaskan banyak hal. Salah satunya adalah tentang pengelolaan energi yang tidak sejalan dengan waktu yang dimiliki. Bukan karena tidak dapat mengelola waktu, tetapi karena saya perlu belajar untuk bijak mengelola energi yang dimiliki. Saya seperti dibangunkan dari pemahaman keliru selama ini. Ketika membaca ulang buku jurnal ini dengan tanda ceklis warna-warni, saya seperti dinasihati oleh seseorang dari dalam cermin, “You don’t have to say ‘yes’ to all those jobs. It’s okay to say ‘no’, Hera.”

Bukan karena tidak dapat mengelola waktu, tetapi karena saya perlu belajar untuk bijak mengelola energi yang dimiliki.

(Hera)

        Ketiga adalah buku jurnal berisi puisi dan coretan acak.  Buku jurnal ini menjadi semacam reminiscing tentang kejadian-kejadian khusus yang menggugah rasa. Semua tulisan menjadi cermin pengingat bahwa saya pernah berada di emosi tertentu: emosi kebahagiaan, kesedihan, atau pun emosi lainnya ketika mengalami satu kejadian tertentu.

Bagi saya, aktivitas menulis jurnal bukan hanya tentang mendokumentasikan kejadian masa lalu atau merencanakan aktivitas dan tujuan masa depan. Lebih dari itu, aktivitas menulis jurnal adalah tentang mengenal diri untuk dapat menikmati kejadian saat ini, lengkap dengan perasaan apa pun yang mengikutinya. Cermin itu selalu ada untuk dimanfaatkan fungsinya bagi kebahagiaan diri.

Be true to yourself and let journaling be your best companion.

(Hera)

*Tulisan ini ada dalam buku Experience Journaling, yang terbit tahun 2021.
0 Shares:
12 comments
  1. Masyaallah, luar biasa mbak Hera bisa konsisten menulis jurnal setiap pagi.
    Salut deh sama yg bisa konsisten.
    Saya masih terseok-seok dengan urusan domestik di pagi hari. Sepertinya ada yang salah dengan manajemen waktu saya nih.
    Makasih ya mba, tulisan ini menginspirasi saya buat menulis jurnal juga, tetapi mungkin bukan di pagi hari. Soalnya pagi setelah salat subuh saya harus murotal demi menghapal minimal 1 ayat.

    1. Dan saya salut dengan Bunda Dawiah yang konsisten menghafal satu ayat setiap hari. Untuk yang ini saya masih belum konsisten.
      Makasih sudah berkunjung dan membaca tulisan saya.

  2. Saya jadi teringat saat masih mengajar di PAUD 12 tahun yang lalu mbak. Ada kegiatan jurnal namanya. Kegiatannya adalah menggambar, karena mereka masih usia pra sekolah ya jadi kegiatan pertama kali sebelum pembelajaran di mulai adalah Jurnal ini. Mereka di minta menggambar apa saja yang mewakili perasaannya hari itu, setelah itu diminta menceritakan gambarnya tersebut. Jadi anak2 akan di bangun dulu moodnya sebelum masuk ke pelajaran, dan hasilnya cukup efektif, anak2 jadi lebih semangat dalam mengikuti kbm.

    Sama seperti yang mbak Hera lakukan, memulai hari dengan menulis jurnal, pasti akan lebih semangat ya dalam menjalani hari2 selamjutnya, karena mood kita sudah di tuangkan dalam bentuk tulisan. Keren nih, bisa konsisten terus menulisnya.

    1. Wah, sama seperti TK-nya anak-anak saya. Setiap pagi selalu ada kegiatan jurnal, isinya macam-macam. Di akhir semester, buku jurnalnya dibawa pulang bareng dengan raport.
      Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan saya.

  3. MasyaAllah, rajin banget Mbak Hera menulis 3 jurnal ?

    Saya masih berangan-angan pingin rajin menulis jurnal khusus kegiatan atau to do list. Makasih inspirasinya ya Mbak

  4. keren bun, jadi pengen ikutan mneuliskan jurnal begini. Jadi kepengen utnuk mengikuti jejak dari mbaj hera. Padahal pas smu, nulis diary menjadi hal yang palinhg menyenangkan

  5. Saya dulu hobi nulis jurnal, sekarang tidak sempat lagi. Kebiasaan ini dimulai saat ada kewajiban menulis jurnal saat SD. Saya menulis jurnal dengan jujur setelah menulis jurnal, buku dikumpul dan hanya guru yang membacanya bila mau. Ternyata, saat openhouse, jurnal dipajang dan bisa dibaca orang tua. Bisa ditebak, orang tua saya marah karena membaca ada salah satu tulisan saya yang menceritakan bahwa orang tua memarahi saya :).

  6. Saya dulu terakhir menulis jurnal zaman SMA ya. Mungkin jadi semacam diary, harian gitu. Nulisnya di buku khusus, dan dikunci.
    Sekarang sudah jarang lagi menulis jurnal. Salut dengan mb Hera yang konsisten menulis jurnal, malah ada kategori jurnal untuk tulisan yang berbeda. Bisa dibukukan nih kapan-kapan jurnal puisinya…

Leave a Reply to Hera Budiman Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like